
Nama lembaga |
: |
Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) |
Motto |
: |
Bersama Menuju Masyarakat Inklusi |
Alamat Kantor |
: |
Jl. Kopral Samiyo I/ Jl. Wonosari Km 8 Berbah, Sleman, Yogyakarta, Indonesia 55573 |
Telp/Fax |
: |
+62-274 – 2840056 |
Emai |
: |
[email protected] |
Website |
: |
sigab.or.id |
Legalitas Lembaga |
: |
LSM ini secara resmi tercatat dengan Akta Notaris: Anhar Rusli, S.H. No. 13/2003, tanggal 15 Mei 2003. |
Latar Belakang & Sejarah Organisasi
Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) adalah organisasi non pemerintah yang bersifat independen, nirlaba, dan non-partisan.SIGAB didirikan di Yogyakarta pada tanggal 5 Mei 2003.Organisasi ini mempunyai cita-cita besar untuk membela dan memperjuangkan hak-hak difabel di seluruh Indonesia hingga terwujud kehidupan yang setara dan inklusif.
SIGAB didirikan karena sampai saat ini kehidupan warga difabel masih dimarjinalkan, baik secara struktural maupun kultural.Hak-hak warga difabel seperti hak pendidikan, pekerjaan, kesehatan, jaminan sosial, perlindungan hukum, akses terhadap informasi dan komunikasi sampai pada penggunaan fasilitas publik tidak pernah diterima secara layak. Dengan kata lain, telah terjadi diskriminasi terhadap warga difabel. SIGAB berpandangan bahwa pada hakikatnya manusia merupakan makhluk yang diciptakan Tuhan dengan derajat kesempurnaan tertinggi dan mempunyai hak yang sama dalam mengembangkan potensi diri untuk mencapai kesejahteraan hidup. Oleh karena itu, tidak sepantasnya jika dalam kehidupan ini terdapat sekelompok orang yang tersisihkan dari lingkungan sosialnya hanya karena keadaan yang berbeda.Program SIGAB dengan jaringannya berusaha menciptakan kehidupan yang menempatkan semua manusia dalam kesejajaran sehingga tidak ada lagi yang tersisihkan.
Sebagai organisasi yang konsisten melawan segala bentuk diskriminasi, SIGAB menolak penggunaan istilah penyandang cacat karena dalam budaya bangsa Indonesia sebutan itu sangat merendahkan derajat manusia dan anti kesetaraan. SIGAB memilih untuk menggunakan kata “difabel” yang dirasa lebih adil dan mengangkat derajat manusia.
Keterampilan dan pengetahuan serta tim inklusif yang kami miliki adalah sumber yang tepat untuk memberikan training sensitifitas Difabel, baik bagi pemerintah, sektor privat, maupun organisasi-organisasi yang tertarik bekerja pada isu Difabel.
Pandangan SIGAB tentang "Difabel" (different Ability)
Difabel merupakan pengindonesiaan dari akronim ‘differently able people’, yakni diff-able. Maknanya adalah ‘Orang yang mampu dengan cara yang berbeda’. Istilah difabel muncul dari kelompok gerakan sosial di Yogyakarta sebagai upaya mengganti istilah ‘penyandang cacat’ (impairment) yang dipakai dalam nomenklatur politik dan kebijakan. Konotasi “penyandang cacat” adalah negatif sehingga menempatkan difabel sebagai individu yang mengalami tragedi dan patut dikasihani dan menjadi objek amal bagi warga negara non-difabel.
Bagi SIGAB, makna difabbel atau difabilitas adalah ketidakmampuan yang lahir dari bentuk kegagalan lingkungan, pemerintah, masyarakat, maupun tatanan serta sistem sosial yang ada dalam merespon fakta difabilitas. Misalnya, seorang yang tak mempunyai kedua kaki seperti pengguna kursi roda, hanya mampu bermobilitas dengan menggunakan kursi roda nya pada lingkungan yang tak berundak.
Hal ini berbeda dengan orang kebanyakan yang bermobilitas dengan cara berjalan kaki. Ini adalah fakta difabilitas yang tak diperhatikan oleh pengampu kebijakan sehingga difabel dengan kursi roda, kruk, protesa dihambat laju partisipasinya di ruang-ruang publik yang berundak, berlantai tanah dan rumput, bertangga-tangga serta sarana-sarana mobilitas lainnnya yang mengabaikan kebutuhan difabel kinetik. Pada akhirnya, lingkunganlah yang membuat seseorang benar-benar menjadi orang tak mampu.
Pandangan tentang “Kecacatan”
Sebagai organisasi yang konsisten melawan segala bentuk diskriminasi, SIGAB menolak penggunaan istilah penyandang cacat karena dalam kultur bangsa Indonesia sebutan itu sangat merendahkan derajat manusia dan anti kesetaraan. Oleh karena itu, SIGAB memilih untuk menggunakan kata difabel yang dirasa lebih adil dan mengangkat derajat manusia. Difabel merupakan kata yang diserap dari bahasa Inggris “diffable”, akronim dari “differently able people” yang berarti orang yang mampu dengan cara yang berbeda akibat kelainan fisik dan/atau mental. Istilah “difabel” ini digunakan untuk melawan istilah “penyandang cacat”. Pelabelan cacat terhadap seseorang ternyata membawa akibat diskriminasi. Pelabelan tersebut bahkan bergeser pada dikotomi “mampu” dan “tidak mampu”, yang akhirnya mengidentikkan penyandang cacat sebagai orang yang tidak mampu (disable). Padahal, kenyataannya tidak demikian. Seorang pelukis yang tak mempunyai lengan, misalnya, tetap dapat melukis di atas kanvas dengan baik, meskipun cara melukisnya berbeda dengan kebanyakan orang. Jadi, yang ada sebetulnya bukan ketidakmampuan (disability) melainkan perbedaan kemampuan (different ability/diffability). Predikat “tidak mampu” inilah yang akhirnya menyebabkan “penyandang cacat” tersisih dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Disability (ketidak mampuan) itu sendiri oleh SIGAB dipandang sebagai sebuah realitas yang terjadi atas kegagalan lingkungan, pemerintah, masyarakat, maupun tatanan serta system dalam merespon fakta difabilitas. Seorang yang tak mempunyai ke dua kakinya misalnya, hanya mampu bermobilitas dengan menggunakan kursi roda dan di lingkungan yang tak berundak. Hal ini berbeda dengan orang kebanyakan yang bermobilitas dengan cara berjalan kaki. Ini adalah fakta difabilitas. Namun demikin, hidup di lingkungan yang tak memperhatikan realitas difabilitasnya membuat ia harus terkurung oleh tidak tersedianya kursi roda, jalan dan bangunan yang berundak, sarana transportasi yang tak ramah sehingga dalam situasi itu, ia telah ditidak mampukan oleh lingkungan yang ada. Perjuangan penghapusan diskriminasi terhadap difabel harus dimulai dari menggeser ideologi dominan yang telah lama bersarang dalam benak para birokrat, masyarakat, dan bahkan difabel sendiri. Dengan alasan itulah SIGAB secara resmi menggunakan istilah difabel. Penggantian istilah ini bermuatan ideologis dan menggambarkan cara pandang SIGAB terhadap pemanfaat programnya.
Penggunaan istilah difabel mempunyai makna filosofis bahwa:
- Tidak ada manusia yang tidak mempunyai kemampuan; yang ada hanya mampu dengan cara dan tingkatan yang berbeda
- Setiap manusia yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental bukan berarti tidak mempunyai kemampuan.
- Setiap manusia dilahirkan di dunia dalam keadaan sempurna dengan standar kesempurnaannya masing-masing
- Dengan kesempurnaannya tersebut setiap manusia berhak mengembangkan potensi dirinya untuk mencapai kesejahteraan
Visi, Misi dan Nilai-nilai
-
Visi “Terwujudnya masyarakat inklusi yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum Difabel untuk hidup setara dan berkeadilan di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum serta teknologi dan pelayanan publik.”
- Misi Sebagai sasana utama gerakan komunitas Difabel yang bermartabat, progresif dan kreatif untuk terwujudnya revolusi menuju masyarakat inklusif di Indonesia, melalui:
- penelitian dan pemutakhiran data dan informasi Difabilitas;
- kampanye dan pendidikan publiK;
- advokasi kebijakan; serta
- aksi kolektif yang masif.
- Nilai-nilai yang dianut organisasi
- Keadilan - SIGAB memandang Difabel sebagai pihak yang selalu dikorbankan secara struktural maupun kultural. Untuk itu, dalam rangka menjunjung keadilan dan kesetaraan, SIGAB akan sepenuhnya berpihak pada kepentingan Difabel.
- Inklusi - Kesetaraan bagi Difabel tak akan terwujud tanpa adanya inklusivitas baik pada tataran teori maupun praktik. Untuk itu, penegakan prinsip inklusivitas telah mulai DILAKSANAKAN SIGAB dalam kerangka internal organisasi. Sejak awal pendiriannya hingga saat ini, prinsip inklusivitas telah terbangun dengan perimbangan jumlah staf serta pengurus Difabel dan non-Difabel.Begitu pula dalam implementasi maupun pendekatan program serta strategi yang dilakukan, SIGAB selalu mengedepankan pembauran Antara Difabel dan non-Difabel.
- Progresif - Sebagai sebuah lembaga advokasi dengan kelompok dampingan yang selama ini ter-alienasi berganda, dibutukan progresivitas dalam membangun gerakan advokasi untuk perubahan.
- Difabel leadership - Keberpihakan SIGAB terhadap Difabel tak akan pernah cukup tanpa figur kepemimpinan Difabel. Ketrlibatan Difabel bukan hanya sebagai pemanfaat program-program SIGAB, namun sebagai pemimpin perubahan untuk kelompok Difabel diyakini oleh SIGAB sebagai kekuatan terbesar untuk memimpin pergerakan perubahan tersebut.
- Profesional - Apakah organisasi masyarakat sipil Difabel dapat menjadi profesional? Inilah pertanyaan merendahkan yang akan dijawab oleh SIGAB melalui kerja nyata. Organisasi Difabel dengan pemimpin Difabel ini akan mampu membuktikan profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas.
Strategi Program 2014 - 2019
Berdasarkan konsultasi dengan berbagai stakeholders serta perencanaan strategis yang SIGAB lakukan pada akhir 2013, ada beberapa situasi lokal/nasional yang menjadi pertimbangan SIGAB dalam menentukan fokus program, yaitu:
Inisiatif penyusunan RUU Disabilitas telah dimulai. Namun demikian, belajar dari pengalaman Undang-Undang No.4 tahun 1997 yang tak implementatif dan tidak komprehensif, penting untuk memastikan penguatan sisi substansi serta pelibatan Difabel dan perspektif lokal Difabel.
Hasil penelitian dan capaian kerja SIGAB pada isu akses hukum bagi Difabel mengonfirmasi kuatnya kebutuhan ketersediaan informasi hukum, pendampingan, serta sistem hukum yang lebih berpihak kepada Difabel.
- Akses terhadap pendidikan , kesehatan serta layanan publik
Di tingkat lokal, layanan publik serta akses terhadap pendidikan dan jaminan kesehatan masih menjadi masalah besar yang belum terjawab baik pada ranah kebijakan dan program serta layanan.
Agar dapat memberikan dampak yang besar terhadap beberapa isu di atas, SIGAB, dari waktu ke waktu perlu terus meng-upgrade kapasitas baik di level staf maupun kelembagaan. Penguatan tersebut juga diharapkan dapat diperluas hingga kepada jaringan SIGAB, terutama Difabel dan organisasinya sebagai aktor dan pemegang kepentingan utama.
SIGAB meyakini bahwa sebuah tatanan masyarakat yang inklusif akan terwujud jika didukung oleh adanya kesadaran dan penerimaan kolektif masyarakat, kebijakan yang berpihak serta implementasinya, serta komunitas Difabel yang berdaya dan mampu berkontribusi penuh terhadap pembangunan dan pengembangan masyarakat. Untuk itu, dengan menitikberatkan pada isu-isu pertimbangan di atas, di bawah ini merupakan beberapa strategi SIGAB untuk mewujudkan visi dan misi organisasi.
Strategi Internal
1. Penguatan Struktur dan sistem operasional organisasi
Sebagai sebuah organisasi yang dinamis, salah satu tantangan internal SIGAB adalah untuk terus menjaga dan meningkatkan kinerja, struktur dan sistem operasionalnya.Untuk itu, adalah suatu kebutuhan bagi SIGAB untuk terus mematangkan komponen organisasi di atas.
2. Peningkatan kapasitas organisasi.
Organisasi yang kuat, oleh SIGAB diyakini sebagai salah satu faktor penting untuk mendukung ketercapaian visidan program-program organisasi. Untuk itu, sebagai bagian dari strategi internal, SIGAB akan terus melakukan penguatan dan pengelolaan kapasitas terhadap staf, fasilitator, relawan, peneliti, pengelolaan fundraising serta pengelolaan pengetahuan.
3. Pemantapan infrastruktur dan pengembangan
Dengan masih sedikitnya organisasi difabel yang dikelola secara profesional namun tetap dalam kerangka gerakan masyarakat untuk perubahan, SIGAB memandang perlu untuk menyiapkan dirinya sebagai sebuah organisasi yang matang dan menjadi tempat belajar bagi organisasi-organisasi lain untuk menjadi embrio agen gerakan inklusi berikutnya. Untuk itu, pemantapan dan pengembangan akan terus dilakukan dalam dua hal. Di sisi perangkat keras, SIGAB akan terus dikembangkan agar memiliki perangkat infrastruktur yang memadai. Selain itu, sebagai organisasi pembelajaran, perangkat lunak seperti kurikulum dan modul pembelajaran untuk pengembangan organisasi dan gerakan advokasi difabel juga bagian lain yang sangat penting dilakukan.
Strategi Eksternal
1. Begin from Village
Mengembangkan prototipe masyarakat inklusi dari desa.
SIGAB meyakini bahwa keberhasilan perubahan yang besar berawal dari kemenangan-kemenangan untuk melakukan perubahan kecil. Desa sebagai tatanan pemerintahan di level akar rumput atau terdepan dan terdekat dengan masyarakat diyakini dapat menjadi sebuah kekuatan sekaligus bukti perubahan yang meyakinkan, bahwa inklusi adalah sebuah keniscayaan. Melalui keberhasilan pada program sebelumnya, hingga tahun 2019 SIGAB mengembangkan praktik-praktik terbaik untuk bekerja di level Desa dalam rangka mendorong terbentuknya “Desa Inklusi” yang akan menjadi bukti dan kekuatan perubahan di level pemerintahan yang lebih tinggi. Di delapan desa di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Sleman dan Kabupaten Lendah) yang merupakan wilayah rintisan pengorganisasian desa untuk mengurangi praktik diskriminasi atas difabel. Penguatannya berbasis pada Kelompok Difabel Desa dan kader-kader desa. Jika prototipe ini berhasil, maka pemerintah Kabupaten Kulon Progo DIY dan kabupaten Sleman akan meminjam konsep ini untuk disebarluaskan di desa-desa lainnya.
2. Evidence for Change
Data dan Informasi Difabilitas.
Data dan informasi adalah hal penting pendukung inisiasi perubahan.Hingga saat ini, ketersediaan data dan informasi mengenai Difabel masih sangat sedikit dan kurang terakses oleh publik. SIGAB meyakini bahwa selain berperan membantu menentukan arah advokasi (bagi organisasi difabel dan masyarakat sipil lainnya) serta menentukan arah kebijakan dan program (bagi pemerintah), ketersediaan data dan informasi difabel akan membantu melahirkan inisiasi-inisiasi baru yang lebih inovatif dan progresif. Untuk itu, melalui pengembangan lebih lanjut
www.solider.or.id, penelitian independen, penerbitan jurnal serta upaya lainnya, SIGAB akan mendukung ketersediaan data dan informasi difabilitas.
3. Scaling up for Change
Gerakan Advokasi dan Perluasan Kelompok Penekan yang Progresif
Ada dua level advokasi yang akan dilakukan. Yang pertama adalah advokasi yang bersifat responsif sebagai reaksi atas kasus-kasus ketidakadilan yang dihadapi oleh difabel. Sedangkan level kedua adalah advokasi yang lebih sistemik yang diharapkan akan mempunyai dampak yang lebih terstruktur hingga ke level kebijakan. Diyakini, keberadaan kelompok penekan dan jaringan yang luas merupakan kekuatan besar advokasi. Untuk itu, aktivitas advokasi juga akan dilakukan dengan pendekatan penguatan jaringan kelompok penekan difabel yang lebih luas. Melalui strategi ini pula, praktik-praktik terbaik yang SIGAB lakukan akan didesakkan untuk dapat diadopsi oleh pemerintah sebagai inisiatif pendekatan terhadap isu difabilitas.
Aktifitas yang Telah Dilakukan Kegiatan yang sudah dilaksanakan oleh SIGAB selama ini antara lain:
1. Sunday Morning Gathering
Yang merupakan kegiatan bersama warga difabel dan masyarakat yang dilakukan pada hari Minggu pagi (pukul 06.00 —10.00) untuk menunjukkan eksistensi dan potensi warga difabel, serta untuk kampanye dan audit aksesibilitas ruang publik.
2. Diskusi Bulanan
Untuk meningkatkan kemampuan pengurus baik, dari segi manajerial maupun pengetahuan. Pelaksanaan diskusi ini sebulan sekali di kantor SIGAB dengan partisipan Pengurus Harian dan anggota SIGAB; juga tidak jarang dihadiri oleh warga difabel di luar anggota SIGAB. Isu-isu yang diangkat dalam diskusi ini antara lain perspektif difabel, hak asasi manusia, kebijakan publik yang bersentuhan dengan difabel, kekerasan terhadap difabel, dan sebagainya.
3. Program Civic Education
4. Advokasi menolak syarat sehat jasmani dan rohani dalam Pemilu Presiden 2004
Kerja sama dengan Front Nasional Anti Diskriminasi (FNAD) dengan aksi massa di KPU DIY dan KPU Pusat serta do’a bersama Forum Persaudaraan Umat Beriman di DPRD DIY. Perjuangan ini terganjal oleh sikap politik para politisi yang suka menjegal lawan dan diskriminatif.
5. Advokasi kasus difabel netra yang ditolak mengikuti tes CPNS
6. Pendidikan Publik
Untuk memperingati Hari Difabel Internasional yang diadakan setiap tahun sejak 2004. Kegiatan antara lain berupa aksi massa, lomba kreativitas anak difabel, pentas seni, gerak jalan inklusif dengan pejabat publik, diskusi, dan seminar. Ke depan kegiatan akan difokuskan pada perencanaan program bersama pemerintah dan DPR untuk setahun berikutnya dan evaluasi program setahun sebelumnya.
7. Training Jurnalistik
Bagi difabel se-Indonesia yang diikuti oleh difabel netra, difabel rungu, dan difabel daksa dari berbagai kota di Indonesia. Selain diharapkan menjadi penulis-penulis yang mandiri, para peserta juga akan diarahkan menjadi jurnalis untuk media newsletter ataupun majalah SOLIDER yang diterbitkan oleh SIGAB. Training ini telah dilakukan dua kali yaitu: (1) Training jurnalistik tingkat dasar kerja sama dengan VSO Indonesia pada 25 —30 Mei 2005 dan Training jurnalistik tingkat lanjut kerja sama dengan ABILIS Foundation pada 17 —21 Februari 2007.
8. Penerbitan majalah dwi-bulanan SOLIDER
Untuk pendidikan publik terkait dengan isu difabilitas dan promosi hak-hak difabel serta untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa difabel pun bisa menjadi jurnalis profesional.Pada tahun 2005-2006 penerbitannya didanai oleh VSO Indonesia, sedangkan tahun 2007 didanai oleh ABILIS Foundation.
9. Pemantauan pemilihan kepala daerah
Kerja sama dengan Partnership dan Koalisi Jogja Untuk Pilkada Damai dan Demokratis tahun 2005 di kabupaten Sleman, Bantul, dan Gunung Kidul yang melibatkan 90 orang pemantau long term dan 350 relawan pemantau short term. Selain pemantauan Pilkada juga ada program penjaringan aspirasi masyarakat dan kontrak politik dengan para calon kepala daerah serta sosialisasi visi, misi, dan program kepala daerah terpilih.
10. Pendampingan proses pembelajaran anak difabel di sekolah reguler
Kerja sama dengan HERMUS Fond, 2004-2006) di 3 sekolah dasar yakni SDN Kaligatuk Piyungan,
SDN Dlingo I, dan SDN Sendangsari Dlingo, Kabupaten Bantul, Propinsi DIY dengan tujuan agar anak difabel memiliki akses pendidikan di tempat yang sama dengan anak-anak sebaya mereka. Hasilnya adalah adalah tumbuhnya positive image terhadap difabel di kalangan guru dan orangtua murid sehingga mereka mampu memberikan perlakuan yang konstruktif serta agar anak difabel dapat mengikuti proses belajar mengajar dengan baik di sekolah umum bersama teman-teman sebaya mereka.
11. Advokasi menolak diskriminasi dalam persyaratan Ujian Masuk UGM
Kerja sama dengan Front Nasional Anti Diskriminasi) tahun 2007. Kegiatannya antara lain (1) aksi protes ke UGM; (2) aksi protes di perempatan kantor POS Besar Yogyakarta; (3) pengiriman surat aduan ke Komnas HAM, Presiden, Mendiknas, dll; dan (4) Talkshow di radio dan TV lokal. Hasilnya UGM mencabut persyaratan “tidak mempunyai cacat tubuh dan kedifabel an lain yang dapat mengganggu proses belajar mengajar pada program studi pilihannya”.
12. Pendidikan Politik I
Untuk Meningkatkan Kekuatan Tawar Difabel dalam Pemilu 2009 di Kabupaten Sleman dan Kulonprogo, Provinsi DIY. Bekerja sama dengan Yayasan TIFA yang dilakukan menjelang Pemilihan Umum 2009, dengan kegiatan antara lain: (1) Workshop Penyusunan Kurikulum dan Modul; (2) Pendidikan Politik; (3) Loby dengan Parpol dan Caleg; (4) Deklarasi Politik Bela Bangsa; (5) Dialog Publik Jelang Pemilu Legislatif; (6) Workshop Penyusunan Strategi Advokasi Lanjut; (7) Loby dengan DPRD Terpilih; (8) Konsultasi Publik; (9) Talkshow Radio; (10) Talkshow TV Lokal; (11) Workshop Evaluasi.
13. Indonesian KIDS Whellchair, Training and Empowerment Project.
Kolaborasi kegiatan bersama UCP-WFH Indonesia tahun 2009-2010. Dengan kegiatan antara lain: (1) Membuat buklet dan audio book/CD kampanye CRPD yang ramah bagi anak. (2) Menyusun Modul dan kurikulum prespektif difabel bagi pejabat publik dan tokoh masyarakat.(3) Melakukan Pelatihan Perspektif Difabel bagi pejabat publik dan tokoh masyarakat di Provinsi DIY dan 5 kabupaten/kota di provinsi DIY. (4) Talkskhow TV dan radio untuk melakukan kampanye CRPD
14. Disability and Legal Information Program,
Bekerjasama dengan AIPJ 2012-sekarang. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan antara lain: (1) Pembuatan dan pengelolaan website Pusat Informasi Hukum dan Difabilitas
http://www.solider.or.id; (2) Training Cyber Journalism; (3) Diskusi komunitas tentang disabilitas dan kebijakan; (4) Lomba menulis tentang disabilitas dan kebijakan; (5) Kampanye publik dan penguatan jaringan bantuan hukum untuk Difabel berhadapan dengan hukum; (6) Pendampingan untuk Difabel berhadapan dengan hukum; dan (7) Advokasi sistem peradilan yang berpihak pada Difabel. Salah satu capaian signifikan dari program ini adalah terbentuknya Jaringan Advokasi Disabilitas Indonesia (JADI) dalam workshop organisasi Difabel dan organisasi bantuan hukum di Yogyakarta pada 20 —22 Mei 2014. Dengan komposisi anggota 28 organisasi Difabel dan organisasi bantuan hukum yang tersebar di 11 provinsi, jaringan ini akan berkolaborasi sebagai rujukan pendampingan dan advokasi bagi Difabel.
15. Pendidikan Politik II
Dalam rangka Membangun Partisipasi Politik Difabel untuk Mewujudkan Pemerintahan yang Demokratis dan Inklusif. Melalui program ini, SIGAB telah mampu memfasilitasi embrio pemilih kritis Difabel di 4 provinsi (Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta). Selain menghasilkan dokumentasi hasil pemantauan aksesibilitas PEMILU 2014, program yang didukung AIESP The Asia Foundation ini juga telah menghasilkan sebuah survei perspektif Difabilitas di kalangan calon legislator 2014, buku “PEMILU dan Gerakan Politik Kaum Difabel”, serta kampanye perspektif Difabel dan penguatan partisipasi Difabel dalam PEMILU 2014. Melalui program ini diharapkan ke depan, Difabel di area program dapat lebih aktif mengawal kinerja legislatif untuk lebih berperspektif Difabel. Selain itu, berbagai aktivitas pengorganisasian pemilih kritis difabel seperti pelaksanaan ‘Kontrak Politik’ antara calon anggota legislatif dengan pemilih difabel sampai kepada pengawalan terhadap pelaksanaan dan proses penyusunan kebijakan-kebijakan di tingkat DPRD juga berhasil dijalankan. Buku lain yang juga diterbitkan terkait dengan pemilu akses adalah “Difabel Merebut Bilik Suara: Kontribusi Gerakan Difabilitas dalam Pemilu di Indonesia” (2015).
16. Program Advokasi
-
Melalui dukungan Core Funding oleh Asia Foundation, ada dua jenis kegiatan advokasi yang selama ini sedang dan akan terus dikembangkan. Pertama adalah advokasi dalam rangka membangun awareness dan mainstreaming difabilitas. SIGAB meyakini bahwa salah satu tahapan untuk tercapainya kesetaraan hak difabel adalah ketika difabilitas telah menjadi mainstream dalam berbagai lapis pemerintah dan masyarakat. Untuk itu, penting untuk memfasilitasi forum-forum dimana isu terkini terkait difabilitas semakin banyak diperbincangkan oleh difabel sebagai subyek hak, maupun pihak terkait lainnya. Salah satu yang akan SIGAB laksanakan adalah diskusi rutin komunitas yang akan diselenggarakan sebulan sekali dengan mengangkat tema-tema publik yang menjadi kepentingan difabel. Selain itu, SIGAB juga akan menyelenggarakan radio online sebagai wadah berbagi informasi yang lebih luas.
- Kedua adalah advokasi yang bersifat responsif, contoh advokasi kasus diskriminasi, pembelaan hukum, review dan kritisi kebijakan dan lain sebagainya.Dalam hal ini, ada beberapa isu yang saat ini menjadi perhatian SIGAB untuk segera direspon, yaitu isu akses terhadap keadilan dan hukum bagi difabel, kebijakan terkait difabel di DIY (PERDA difabel, PERGUB dan implementasinya), akses terhadap jaminan kesehatan masyarakat bagi difabel, serta advokasi undang-undang difabel sebagai turunan ratifikasi konvensi hak difabel. Melalui kerangka program advokasi ini pula, SIGAB telah turut mendukung inisiatif drafting serta konsultasi RUU Disabilitas melalui workshop konsultasi RUU Disabilitas se-Jawa yang diselenggarakan pada 20 —21 April 2014 dengan melibatkan organisasi-organisasi Difabel se-Jawa.
17. Penelitian Mandiri
SIGAB mendefinisikan penelitian independen sebagai penelitian yang dimaksudkan untuk menggali informasi terkait situasi sosial difabel dan tingkat pemenuhan hak serta inklusi sosial difabel.Sebagai sebuah penelitian yang independen, penelitian ini tidak terikat pada kerangka suatu disiplin tertentu, ataupun kurun waktu, serta kelompok masyarakat dan wilayah tertentu. Hasil penelitian ini akan menjadi dasar bagi SIGAB dalam menentukan agenda advokasi baik di tingkat lokal maupun nasional / regional / internasional. Sedikitnya dua hasil penelitian ditargetkan dapat diterbitkan setiap tahunnya.
18. RINTISAN DESA INKLUSI (RINDI)
Program rintisan desa inklusi merupakan upaya SIGAB menghilangkan diskriminasi terhadap difabel di level desa. Tujuan dari RINDI adalah ‘Inklusi’ menjadi prinsip dan arus utama dalam pembangunan desa sebagai model perwujudan inklusi sosial bagi difabel. Program ini dilaksanakan di 8 desa di dua kabupaten, yakni kabupaten Sleman (Desa Sendangadi dan Sendangtirto) dan Kabupaten Kulon Progo (Desa Sidorejo, Gulurejo, Ngentakrejo, Jatirejo, Bumirejo dan Wahyuharjo). Bagi SIGAB, ada empat hal penting yang sangat berpengaruh bagi terciptanya inklusi sosial, yakni adanya nilai-nilai, perilaku, kebijakan dan lingkungan sosial yang akses bagi difabel. Fokus program Rindi adalah: [1] Mendorong Pemerintah Kabupaten dan Desa untuk memahami dan mendukung program desa Inklusi; [2] Difabel di area program mempunyai POSISI tawar dan mampu mengaspirasikan kepentingan mereka dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di level desa; [3] Pemerintah dan masyarakat memiliki pemahaman yang positif terkait inklusi sosial difabel; [4] Pemerintah desa mampu melaksanakan pembangunan desa yang inklusif; [5] Adanya pembelajaran yang dapat direplikasi oleh berbagai pihak dari pengalaman implementasi piloting desa inklusi. Program RINDI didukung oleh Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Struktur Lembaga
SIGAB adalah lembaga swadaya masyarakat yang berupa perkumpulan. Oleh karena itu, kekuasaan tertinggi berada pada Rapat Anggota yang dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun. Rapat Anggota bertugas dan berkewenangan untuk menyempurnakan statuta organisasi, menyusun program strategis, meminta pertanggungjawaban Pengurus Harian atas kinerja organisasi, dan menyempurnakan struktur organisasi serta memilih pengurus baru untuk periode 5 tahun berikutnya. Berdasarkan Rapat Anggota 2007, struktur organisasi SIGAB terdiri atas Dewan Pertimbangan, dan Pengurus Harian.
A. Dewan Pertimbangan
1. Agus Surya Kawaca
2. Muhamad Imam Aziz
3. Sutomo
4. Ro'fah Makin
5. Joni Yulianto
B. Pengurus Harian & Staf
Direktur Eksekutif : Suharto
Wakil Direktur : Haris Munandar
Manajer administrasi dan keuangan : Nur Widya Hening Handayani
Koordinator Advokasi dan Jaringan : Purwanti
Koordinator Penelitian : Presti Murni Setiati
Koordinator Desa Inklusi & Pendidikan Politik : Rohmanu Solikin
Koordinator Media : M. Ismail Koordinator
Koordinator Teknologi Informasi : Ananto Sulistyo
Staf Peneliti : Ishak Salim
Asisten Keuangan : Muhammad Syamsudin & Wantiyah
Asisten Administrasi : Hestia